21 April 2025
Berita

Penghasilan Rp 14 Juta Dapat Beli Rumah Subsidi, Pantaskah Disebut Mbr?

Perumahan subsidi di Sendangsari, Pajangan, Kabupaten Bantul, DIY, Rabu (22/5/2024).
Ilustrasi rumah subsidi. Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja

Jakarta – Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (Ara) memberitahu batas optimal penghasilan untuk penduduk berpenghasilan rendah (MBR) yang dapat berbelanja rumah subsidi di Jabodetabek naik menjadi Rp 14 juta per bulan. Sebelumnya, batas optimal penghasilan MBR yakni Rp 7-8 juta.

Lalu, untuk MBR yang belum menikah dan ingin berbelanja rumah subsidi di Jabodetabek batasnya tetap Rp 12 juta per bulan.

“Jadi kita sepakati buat Jabodetabek kalau beliau single Rp 12 juta, kalau telah menikah Rp 14 juta. Sepakat ya bu (Kepala BPS)? Ini berubah lagi, namun bagus. Ini kabar baik,” kata Ara dalam aktivitas penandatanganan MoU bantuan rumah subsidi untuk buruh di kantor Kementerian PKP, Jakarta Pusat, Kamis (10/4/2025) lalu.

Menanggapi hal ini, Direktur INDEF, Tauhid Ahmad menjelaskan, penjabaran kelas dalam penduduk menurut penghasilan salah satu maksudnya untuk memutuskan prioritas pemberian sumbangan sosial. Semakin kecil penghasilan per bulannya bermakna mereka yakni peserta sumbangan prioritas dari pemerintah.

Tauhid menyodorkan penduduk kelas bawah atau yang berpenghasilan rendah yakni yang memiliki total pemasukan di bawah Rp 8 juta. Sementara penghasilan antara Rp 8-14 juta telah tergolong kelas menengah.

Baca juga : Sri Mulyani Ngobrol Bareng Menkeu Australia, Diskusikan Tarif Trump

“Kalau kita lihat yang tadi kelas menengah memang, Rp 8-15 juta itu kelas menengah. Kalau yang di bawah Rp 8 juta itu golongan menengah bawah per keluarga ya dan (kelompok ekonomi) di bawah mungkin Rp 4-5 juta yang penduduk miskin gitu per keluarga,” kata Tauhid terhadap detikProperti, Jumat (11/4/2025).

Ia menyaksikan dengan peningkatan batas penghasilan peserta rumah subsidi ini akan memunculkan beberapa dampak. Salah satunya yakni kian besar pilihan rumah yang dapat diseleksi oleh kelas menengah.

“Akhirnya tercampur antara yang dapat mendapat KPR non-subsidi (dengan yang mesti mendapat subsidi) alasannya yakni kini dibantu pemerintah lewat aktivitas ini,” ungkapnya.

Dampak kedua, dikhawatirkan pilihan harga rumah untuk MBR berpenghasilan di bawah Rp 7 juta kian sedikit alasannya yakni pengembang lebih memutuskan melebarkan pasar untuk penduduk dengan penghasilan Rp 8-14 juta.

“Karena menyaksikan kemampuan, batas atasnya dilebarkan, sementara golongan bawah yang dulunya sanggup balasannya marketnya makin menyusut alasannya yakni pengembang senangnya yang punya kapasitas keuangan lebih bagus,” ujarnya.

Kemudian, dari segi bank, kelas menengah juga bisa mendapat potensi lebih besar untuk mendapat persetujuan pengajuan KPR alasannya yakni kesanggupan membayarnya.

“Slip gajinya dan sebagainya yang satu punya honor Rp 8 juta sama honor yang katakanlah Rp 14 juta, niscaya kan bank lebih bahagia yang gede alasannya yakni kreditnya niscaya lebih banyak. Bank bahagia alasannya yakni kian banyak yang dipinjam, bunganya juga manis bagi bisnis bank,” tuturnya.

Untuk menangani imbas yang mungkin terjadi, Tauhid menyarankan lebih baik batas penghasilan untuk MBR yang mendapat rumah subsidi kembali menjadi Rp 8 juta per bulan. Apabila ingin menampilkan peluang bagi kelas menengah, bunga yang diberikan dibedakan antara yang penghasilan Rp 7 juta ke bawah dengan penghasilan Rp 8-14 juta.

Terpisah, Pengamat Properti sekaligus CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda menatap faktual keputusan peningkatan batas penghasilan peserta rumah subsidi menjadi Rp 14 juta. Menurutnya, dengan kebijakan ini kelas menengah di perkotaan juga bisa mendapat akomodasi untuk memiliki rumah.

“Batas penghasilan menjadi Rp 14 juta cukup memperluas pasar sasaran. Saya menyinari tidak hanya untuk MBR tetapi pemerintah perlu juga memperhatikan kaum menengah utamanya menengah perkotaan,” ucapnya.

Ali menyertakan jikalau memungkinkan MBR semestinya bisa mendapat insentif lebih ketimbang penduduk kelas menengah mudah-mudahan semua kelas sanggup terbantu untuk memiliki rumah.

“Harusnya ada (perbedaan suku bunga), bila MBR kini hingga Rp 14 juta, maka yang di atas itu yang tergolong menengah harusnya juga sanggup insentif meski nggak setinggi yang MBR, agar sanggup mendongkrak daya beli,” jelasnya.

Sebelumnya diberitakan, Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho menambahkan, naiknya batas optimal penghasilan MBR untuk berbelanja rumah subsidi sejalan dengan kian mahalnya residensial di perkotaan, dalam hal ini Jabodetabek.

Ia mengatakan, untuk menangani backlog di perkotaan telah sulit dipercayai lagi bertumpu pada rumah tapak yang lokasinya kian jauh, maka dari itu perlu dibangun residensial vertikal. Akan tetapi, harga residensial vertikal jauh lebih mahal dibanding rumah tapak alasannya yakni ongkos konstruksinya.

“Sehingga perlu ada pembiasaan batas MBR-nya. Kalau (masih) Rp 8 juta khawatirnya nggak bakalan sanggup angsur rumah susun, kalau Rp 14 juta akan ada banyak segmen penduduk tergolong buruh yang dapat masuk,” paparnya.

Leave feedback about this

  • Quality
  • Price
  • Service

PROS

+
Add Field

CONS

+
Add Field
Choose Image
Choose Video