
Jakarta –
Ketika Ujian Nasional (UN) dihapuskan bertahun-tahun dulu, banyak pihak merasa lega. Mengakhiri cobaan yg selama ini menjadi momok untuk siswa dianggap selaku langkah progresif menuju metode pendidikan yg lebih manusiawi dan holistik. Namun, ide buat mengembalikan UN sekarang akan timbul kembali, hal ini dipicu oleh salah seorang konten kreator yg mengatakan bahwa setelah UN dihapus, kampus-kampus di Belanda tidak lagi gampang menemukan siswa Indonesia buat melanjutkan studi S1 di Belanda dan juga kritik keras Mantan wapres Jusuf Kalla wacana menurunnya mutu pendidikan Indonesia yang katanya salah satunya akhir UN dihapus.
Hal ini menyebabkan perdebatan apakah inspirasi tersebut betul-betul “langkah mundur atau malah potensial menjadi penyelesaian buat sejumlah duduk kendala pendidikan di Indonesia. Untuk mengetahui lebih jauh, utama meninjau banyak sekali perspektif dan fakta yang menyertai kedua segi argumen.
Masalah Fundamental
Dihapuskannya UN intinya dilandasi oleh beberapa duduk kendala mendasar. Kritik kepada UN meliputi tekanan psikologis yg tinggi pada siswa, dengan banyak di antara mereka merasa bahwa hasil cobaan tersebut mulai menyeleksi masa depan mereka. Hal ini mempunyai pengaruh pada meningkatnya kecemasan dan stres di kelompok pelajar, yang pada gilirannya mampu menurunkan motivasi belajar. Selain itu, UN tidak jarang dianggap tak merefleksikan kesanggupan siswa secara komprehensif alasannya hanya menganggap faktor kognitif semata, sementara kemampuan lain menyerupai berpikir kritis, kreativitas, dan nilai-nilai abjad tak ikut dievaluasi.
Ketika UN dihentikan, pemerintah mengubahnya dengan asesmen kompetensi minimum yg lebih fleksibel dan berorientasi pada kesanggupan berpikir kritis. Namun, sejumlah kelompok beropini bahwa tanpa adanya tolok ukur yg seragam dan persyaratan nasional yang jelas, mutu pendidikan menjadi sulit diukur secara objektif. Ada cemas bahwa persyaratan pendidikan di banyak sekali tempat mulai kian bervariasi, bikin kesenjangan dalam pencapaian siswa di seluruh negeri. Hal ini khususnya berlaku di Indonesia, di mana disparitas antara sekolah di perkotaan dan pedesaan sungguh mencolok.
Menghidupkan kembali UN dengan desain yg lebih terbaru dan berhubungan sanggup menolong bikin persyaratan pendidikan yg seragam dan memadai. Pengalaman dari negara-negara lain menyerupai Singapura dan Korea Selatan menampilkan bahwa cobaan persyaratan masih sanggup menjadi alat yg efektif bagi memajukan mutu pendidikan, selama pelaksanaannya dilaksanakan dengan cara yg tepat.
Di Singapura, misalnya, cobaan persyaratan diintegrasikan dengan penilaian berkesinambungan dan acara pembelajaran yg dirancang untuk membangun kemampuan yg diperlukan dalam kehidupan nyata. Sementara itu, di Korea Selatan, walaupun cobaan persyaratan membuat stres tinggi, keberadaannya dibarengi dengan kebijakan santunan yang besar lengan berkuasa untuk siswa.
Namun, bagi bikin UN berhubungan pada masa modern, diperlukan reformasi menyeluruh. Salah satu pendekatan yang dapat diperhitungkan yaitu penggunaan teknologi bagi memperkenalkan cobaan berbasis komputer yg adaptif. Sistem ini bisa menyesuaikan diri tingkat kesusahan soal sesuai kesanggupan siswa, sehingga setiap individu sanggup dievaluasi menurut potensi dan perkembangannya masing-masing. Di beberapa negara maju, metode ini telah terbukti mampu meminimalisir stres cobaan dan menyediakan hasil yang lebih akurat dalam menganggap kesanggupan siswa.
Di segi lain, fakta menampilkan bahwa UN pernah menjadi faktor penyebab ketidakadilan di antara siswa dengan latar belakang berbeda. Siswa asal dari sekolah-sekolah dengan akomodasi minim, khususnya di tempat terpencil, kadang kalah berkompetisi dengan mereka yang mempunyai susukan ke tutorial berguru dan akomodasi pendidikan yg lebih baik. Jika UN dihidupkan kembali tanpa memperhatikan faktor-faktor ini, maka risiko memperbesar kesenjangan pendidikan akan sungguh nyata.
Oleh alasannya itu, setiap rencana bagi mengembalikan UN mesti meliputi upaya untuk memperbaiki akomodasi pendidikan secara merata, menentukan bahwa seluruh siswa mempunyai peluang yg serupa untuk berhasil.
Desain Baru
Bagi sebagian orang, ide bagi kembali ke UN mungkin terasa selaku langkah mundur yang menggugah tertekan berat masa dulu. Namun, untuk yang yang lain, ini yaitu peluang buat memperbaiki kelemahan yang ada dan bikin metode pendidikan yang lebih besar lengan berkuasa dan adil. Kuncinya terletak pada bagaimana desain gres UN dirancang biar lebih inklusif dan mampu mengecek beraneka ragam faktor kesanggupan siswa. Misalnya, penilaian tidak hanya berbasis soal pilihan ganda, tapi juga meliputi proyek, presentasi, atau portofolio yang sanggup menampilkan aplikasi simpel dari wawasan yang dimiliki siswa.
Dari perspektif global, banyak sekali studi menampilkan bahwa penilaian berbasis cobaan persyaratan masih menjadi alat yang utama dalam pendidikan. Program for International Student Assessment (PISA), yg kadang digunakan buat mengukur mutu pendidikan sebuah negara, menampilkan bahwa negara-negara dengan kinerja pendidikan tinggi umumnya mempunyai metode penilaian persyaratan yg kuat. Data ini sanggup menjadi argumen yang mendukung pengembalian UN, dengan catatan bahwa metode evaluasinya mesti dikembangkan biar lebih responsif kepada keperluan siswa dan dinamis kepada pergeseran zaman.
Akhirnya, apakah mengembalikan UN merupakan inspirasi yg gila atau bukan, tergantung pada bagaimana kami menyaksikan potensi reformasi yg menyertainya. UN model usang mungkin sudah gagal, tetapi model gres dengan pendekatan yg lebih terbaru dan beraneka ragam dapat jadi merupakan apa yang diperlukan buat menangani tantangan pendidikan di ketika ini. Yang jelas, ide ini membutuhkan kajian yg mendalam serta keterbukaan bagi mengadopsi praktik terbaik dari negara-negara yang lain sambil tetap menyesuaikan dengan konteks Indonesia.
Waode Nurmuhaemin doktor administrasi pendidikan
ujian nasionalHoegeng Awards 2025Baca cerita inspiratif calon polisi rujukan di siniSelengkapnya
Leave feedback about this